kutipan : Cukupkan Diri, Jangan Berlebihan

Posted on Oktober 25, 2008. Filed under: islam indie |

saya suka nih tulisan ini.

kurang lebih sama ‘substansi’nya dengan yang saya tulis tentang Agama di Dunia Penuh Benda dan dengan yang saya tulis di Lega, bahkan dibanyak tulisan saya di sini. tentang apapun dalam hidup ini, tentu jiwalah yang utama dan menjadi diri sendiri itulah yang terindah. sehingga ketika rasa cukup dan masuk akal itu ada, maka itu akan sangat membantu kesadaran ini dalam menjalani hidup dalam kebersamaan dengan sebaik-baiknya.

tentu tulisan dibawah ini memiliki sentuhan yang berbeda dan sangat seru tuk dicermati.

selamat menikmati
semoga menginspirasi

***

Cukupkan Diri, Jangan Berlebihan
http://cetak.kompas.com

Sabtu, 25 Oktober 2008 | 00:35 WIB
A Setyo Wibowo

Para ahli ekonomi dan keuangan sepakat, akar meledaknya busa sabun moneter di Amerika Serikat adalah ketamakan akan uang. Kredit perumahan yang awalnya baik karena didasarkan pada kreditor prima menjadi awal terbentuknya gelembung hampa spekulasi.

Uang memperanakkan uang, menjauh dari yang riil, menggelembung menebarkan janji memikat. Ketika pecah, kehampaan siap menyeret dunia ke jurang kekosongan. Di balik itu, ketamakan akan uang adalah penyebab utama.

Bagaimana menyikapi ketamakan? Sokrates, pemikir Yunani abad ke-5 SM, bapak segala filsafat, mengatakan, kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebih-lebihan. Puncak kebijaksanaan adalah ketika manusia tahu jati dirinya adalah jiwanya (bukan hartanya). Bila jiwa diakui sebagai yang terpenting dari manusia, dan diberikan prioritas, maka terhadap segala sesuatu, diri sejati itu akan mengatakan, jangan berlebihan, cukupkan dirimu.

Utama sama dengan sukses

Maksim ini terlalu moralistik? Pada titik tertentu iya, meski ”moral” di sini harus dimaknai bukan dalam arti baik dan jahat. Bagi Sokrates, keutamaan (arete) tidak pertama-tama judgement moralistik. Keutamaan adalah excellency, kinerja optimal sesuatu, atau katakanlah kesuksesan.

Penting ditekankan, keutamaan dalam filsafat Yunani belum ditunggangi pemahaman modern tentang moral dan agama. Keutamaan adalah optimalnya inti kemanusiaan, tidak lebih dan tidak kurang. Penjelasan ini urgen karena masyarakat modern justru lebih concern secara instingtif pada kesuksesan hidup daripada kepada moral atau agama! Inilah ironi kita: di mulut berteriak ”moral dan agama mesti ditegakkan”, tetapi setiap hari yang diupayakan hanya kesuksesan hidup. Maka, tanpa meminggirkan pentingnya moral dan agama, mari kita tilik makna kesuksesan hidup tawaran pemikir Yunani 25 abad yang lampau.

Bagi Sokrates, keutamaan pisau adalah mengiris. Pisau bersifat optimal kalau mampu mengiris. Tumpul, pisau tidak excellent, tidak sukses. Bagaimana dengan manusia? Keutamaan manusia ada pada jiwanya. Manusia optimal, sukses adalah manusia yang hidup dengan memprioritaskan jiwanya. Inilah bagian pertama maksim, ”kenalilah dirimu sendiri”. Kita hanya menjadi manusia sukses sejauh mengakui bahwa jiwa adalah orientasi hidup kita, bukan harta benda.

Seperti makan, minuman, dan seks, uang adalah sesuatu yang kita nafsui secara tak terbatas. Nafsu (epithumia) makan memasukkan kita dalam lingkaran lapar-makan-kenyang-lapar lagi dan seterusnya. Demikian juga seks dan uang. Nafsu digambarkan murid Sokrates (Platon) sebagai gentong bocor: seberapa pun air dimasukkan, selalu minta diisi.

Sokratisme tidak membuang makan, minum, seks, dan uang. Itu semua berguna bagi hidup manusia. Namun, justru karena bersifat utilitarian, ia tidak pernah menjadi tujuan dalam diri sendiri. Hidup manusia terarah pada sesuatu yang lain: jiwanya.

Dan persis pada jiwanya inilah nafsu terdapat! Selain nafsu-nafsu itu, Platon membuat kita sadar, jiwa juga memiliki rasa bangga diri, hormat diri (thumos). Harga diri ambisinya juga tak terbatas, ia bisa membuat manusia lupa segalanya. Harga diri bisa membuat orang nekat.

Survival yang menjadi tugas penting nafsu bisa diluluhlantakkan oleh harga diri. Harga diri, yang berguna bagi pemaknaan hidup, bisa membuat manusia menghancurkan diri, sesuatu yang tidak pernah dianjurkan Sokrates dan Platon.

Rasio manusia

Tahu bahwa diri sejati adalah jiwanya, tahu bahwa jiwanya memiliki nafsu dan harga diri, maka pentinglah unsur-unsur itu diberi tahu agar ”jangan berlebih-lebihan”. Makan boleh, mencari uang boleh, tetapi jangan berlebih-lebihan. Merasa bangga, berani menentang arus juga boleh, tetapi ”secukupnya” saja.

Apa arti secukupnya? Minimalis? Siapa yang bisa mengatakan ”sudah cukup” atau belum? Jawabannya ada di jiwa. Selain nafsu dan harga diri, jiwa kita memiliki rasio. Akal budi akan mengatakan kepada nafsu dan harga diri yang tak terbatas untuk ”cukup, tahu batas”.

Bagaimana rasio bisa melakukannya? Tidak ada resep yang mudah. Manusia yang tidak melatih mengendalikan nafsu dan harga diri terbiasa menidurkan rasio sehingga ia tak mampu mengatakan ”cukup”. Rasio hanya bisa mengatakan ”cukup” manakala ia terbiasa bernegosiasi dengan mereka. Inilah filsuf, pencinta kebijaksanaan. Lalu, bagaimana? Tiap orang harus memilih, lingkaran yang memerosokkan atau lingkaran yang membawa ke kebaikan. Pilihan terakhir membuat orang hidup berkeutamaan atau sukses. Manusia sukses adalah dia yang memilih memprioritaskan rasionya untuk mengendalikan ketamakan tanpa batas yang konstitutif di dalam jiwanya.

Belajar bijaksana

Berhadapan dengan ketamakan kapitalisme modern, kita berhadapan dengan tembok paradoksal. Kapitalisme terbiasa hidup tanpa pengendalian diri sehingga dari dirinya sendiri tidak bisa mengatakan ”cukup”. Harus ada pihak luar yang mengatakannya. Syukurlah, otoritas negara berani mengatakan ”cukup”. Semoga kapitalisme mau belajar. Sebuah harapan paradoksal karena memasukkan ”kendali negara” dalam sistem kapitalisme dianggap bunuh diri ”isme” itu sendiri.

Atau, sudah saatnya belajar bijaksana? Waspada dengan kredo kita tentang kapitalisme? Mengapa pebisnis dan penanggung jawab ekonomi negeri ini seakan lalai sila ”keadilan sosial”, horizon ultima sistem ekonomi bangsa?

Semoga kita tidak mudah percaya begitu saja hanya karena suatu ajaran tampak canggih dan dari negeri hebat, semoga kita lebih mengenali ”diri kita sendiri” sehingga hidup bersama di republik ini memiliki makna dan penuh sukses.

Menjadi manusia utama, yang sukses hidupnya, adalah harapan kita semua. Syukur-syukur ditambahi agamais dan moralis. Namun, en deça (lebih di bawah lagi) dari sikap itu, keutamaan dalam arti rasional dari Sokrates adalah apa yang kita butuhkan saat ini.

A Setyo Wibowo Pengajar di STF Driyarkara Jakarta; Alumnus Universitas Paris-I, Sorbonne, Perancis

Make a Comment

Tinggalkan Balasan ke Syahrul hanafi Simanjuntak S.15 Batalkan balasan

7 Tanggapan to “kutipan : Cukupkan Diri, Jangan Berlebihan”

RSS Feed for “Islam Indie” Comments RSS Feed

jadi inget film kartun over the hegde, di film itu di sekumpulan binatang yang mengumpulkan makanan supaya sanggup berhibernasi di musim dingin mengkritik kebiasaan manusia makan, katanya mereka makan di rumah, dimobil, didepan tv di bioskop, dijalan dan banyak lagi , “we eat to live they live to eat”
terus lagi bilang SUV itu satu gejala kita akan kehilangan kemampuan berjalan
For humans “enough is never enough”

Berhentilah makan sebelum kenyang.

iya kalo yg diumpamakan ma pak platon itu gentong bocor, lah gimenong dong kalo gentongnya gak bocor? kalo diisi terus n terus ya.. lama2 tumpah dunk.

iya kalo isi gentong itu bersih n layak minum, tinggal pake, beres. Tapi gimenong kalo ternyata isi gentong itu keruh, kotor n menjijikkan? bau’ lagi!

Jadi inget Takuan, pendeta zen nyentrik suhunya Miyamoto Musashi waktu ngajarin hal ini. Laksana kita mau menuang teh terus2an di cangkir yg sebenernya udah full dg kopi kental. Mau seberapa pun teh yg kita tuang, akibatnya tetep aja percumah krn tumpah kemana2.
Jadi.. bagaimana kita bisa belajar bijaksana bila di benak kita sudah menggumpal berbagai ketidakbijaksanaan? Baca Musashi! Eh, udah berlebihan ilmu ya? Weeh.. bisa2 tamak ilmu dunk 😕 Mang nyari2 ilmu (=iqra) terus2an itu termasuk nafsu ato passion ya?

Wah…
Bacaan “berat”… 😎
Saya sedang (dan masih terus mencoba) belajar mengenali diri saya sendiri. Bukan berarti saya sama sekali tidak kenal diri sendiri; maksudnya, saya berusaha agar tiap hari pengenalan saya akan diri sendiri makin baik. Makin kenal… 🙂

Whewww….. keren!!! Sekali lagi ini kutipan keren! 😀

Jadi “rem”-nya dari diri kita sendiri ya?? Biar semuanya bisa harmonis, sekata dan sejalan…

Subhanallah.. semoga selalu diingatkan sama Dia untuk selalu tahu bats. Amin 🙂

Makasih sharingnya!

@mas budi
@bang Syahrul
bettul.. dan setuju.. 😀

@mas JM
nah, itu dia mas yang harus terus dilatih dan diberi kesadaran. maka karenanya ada pelajaran agama dan budi pekerti di sekolah. hehehe.. termasuk pelajaran kewiraan zaman kita dulu mas.
e, kita beda zaman ga sih?? 😉

@mbak darnia
emang bagus artikel ini mbak, makanya di kutippp… 🙂

dan satu nih yang mau saya bagi, Gus Dur kabarnya pernah menangis ketika membaca pemikiran-pemikiran filsuf2 di zaman sebelum lahirnya nabi Muhammad saw itu. katanya, betapa dunia telah turut memikirkan semua itu jauh sebelum yang mulia nabi-nabi termasuk nabi muhammad saw ada.

saya juga jadi berpikir tuh, dan menyadari kalau kita sangat tidak punya alasan tuk assobiyyah kelompok, ciee… maksudnya jangan terlalu membangga2kan kelompok.

sadari deh kalau kita ini hanyalah setitik bagian dari pergumulan pemikiran yang panjang – yang juga lahir atau dilhami tuhan dalam perjalanan kehidupan yang panjang ini. dan di surat al fatihah kan sudah ada ‘ungkapan’ tentang hal itu. ttg ihdinash shirothol mustaqiem. yaitu jalan mereka yang diberi nikmat, dst..

tentu di sini diantaranya mereka yang telah diberi nikmat ilmu dari perenungan akan kehidupan. bahkan dari mereka yang ada sebelum ‘islam’ nya rasulullah itu ada. ya kan?
maka definisi islam itu luas sekali, tak hanya berkutat di wacana arab saja.

gimana mbak?

selebihnya, jelas.. tuk kutipan di atas dan termasuk tuk komen saya ini, ya kembali pada manusianya. mau tidak sadar diri, kalau dia termasuk dalam sebuah kehidupan yang luas yang senantiasa harus “mengalir”.. dan terus “berputar”.

salam hangat 😀

Setuju, Mbak Anis!! Yang Mbak Anis tulis tentang peikiran manusia dan para nabi sebelum jaman Rasul serta membangga-banggakan kelompok juga sama dengan isi al-Qur’an surat Ar-Rum (Q.S 30)
(saya gak usah kutip ayat berapa, soalnya mencakup keselutuhan isi Surat Ar-Rum sendiri) 🙂

Subhanallah… diberkatilah semua orang yang mau berpikir 🙂


Where's The Comment Form?

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...